Selembar Kisah Tentangnya
Aku coba menulis kisahnya. Bukan kisah diriku
tapi kisah tentang dirinya. Sebab jika aku tuturkan mulut ini tidak akan
sanggup menahan emosi dari dalam hati. Padahal tanganku pun tidak mahir
memegang pena. Jari-jarinya pun kaku sekali tidak pantas menoreh tinta. Tapi
aku akan berusaha tetap menegakan hati untuk menatap hidup dengan
mengambil
hikmah dari kisahnya. Walau tak pandai merangkai kata akan ku coba
menghimpunnya dalam diary hidupku. Sebagai bukti bahwa dia pernah jadi bagian
berarti dalam hidupku. Bukan hanya bagi diriku, tapi juga bagi orang-orang yang
pernah bersamanya.
Ahmad namanya. Dalam remang-remang kenangan
waktu sekolah dasar pertama kali aku kenal dia. Ahmad orang pertama yang
menyapaku di bangkunya. Ketika aku nakal masuk ke ruangan kelas empat tempat
ayahku mengajar. Menyisir satu persatu barisan bangku. Sebagai anak kecil
itulah hobiku dulu. Menguntit Ayah ke sekolah. Mengikuti langkahnya menuju
kelas. Ayah tidak pernah marah hanya sesekali melototiku jika aku membuat
kegaduhan di kelas.
Aku duduk di kelas satu. Dan kak Ahmad di kelas
empat. Terpaut tiga tahun usia kami. Seperti adik kakak, kami selalu
menghabiskan waktu bersama. Untuk belajar ataupun bermain. Dia adalah pelawak terhebat
yang aku kenal. Selalu saja aku dibuat tertawa oleh ucapan dan tingkahnya.
Tidak ada kesedihan yang ku dapat dari raut wajahnya ataupun rasa malu. Meski
sehari-hari dia harus berjualan es di sekolah. Prestasinya jauh di atas
rata-rata. Dia sungguh sangat pintar dan jenius. Sehingga dia pernah dinobatkan
menjadi siswa teladan se-kabupaten.
Dia sangat rajin dan tidak pernah ragu untuk
melakukan segala hal. Orang-orang menyukainya karena tidak pernah sungkan untuk
menolong orang lain. Dia disayang semua orang sehingga kebaikan selalu
menghampirinya. Uang hasil jualan selalu dia berikan kepada orang tuanya. Dan
hanya sebagian kecil dia sisihkan di sakunya. Untuk melanjutkan sekolah
katanya. Saat ku bertanya karena aneh melihat kak Ahmad memisahkan uang hasil
jualan di suatu hari yang panas. Saat itu aku membeli es terakhir dalam
termosnya. Kami duduk di atas tembok pagar sekolah di bawah terik matahari
siang.
“ Aku ingin sekolah setinggi-tingginya, cha.
Melihat langit di belahan bumi yang lain.”
Aku melihat sinar di mata kak Ahmad. Sinar yang
mengalahkan terik si raja siang di atas sana. Pandangannya jauh menembus awan.
Menelisik di langit biru. Mungkin di sana lah cita-cita kak Ahmad di ruang yang
tak dapat ku jangkau hanya dengan mataku.
“ Apa aku juga bisa pergi kesana, kak?”
“ Tentu saja bisa. Bagi kamu itu akan mudah
karena Ayah kamu. Tapi bagiku akan sedikit sulit.”
Kedekatan aku dengan kak Ahmad menjadi bumerang
bagi ku di kelas. Semua teman-teman meneriaki aku sebagai pacar kak Ahmad. Saat
itu aku belum paham apa itu pacaran. Aku merasa kedekatanku dengan kak Ahmad
sama saja dengan kedekatan ku dengan mereka. Sebagai teman atau sahabat.
Tentunya di kelas dan di luar kelas aku selalu saja jadi bulan-bulanan
teman-temanku. Aku selalu marah kepada mereka. Aku benci mereka. Dan kalau
kepergok aku sedang bersama kak Ahmad, dia hanya tersenyum dan meminta mereka
untuk membeli es jualannya.
Sebenarnya aku tidak sekedar menganggap dia
sahabat. Tapi sudah ku anggap kakak ku sendiri. Karena aku kehilangan semua
kakak ku yang dulu selalu mengajak aku bermain. Saudaraku itu kebetulan
semuanya lelaki. Dan aku biasa nyaman dengan mereka. Ketika mereka pergi untuk
melanjutkan pendidikan ke yang lebih tinggi, mereka tidak punya waktu lagi
untuk bermain denganku. Mereka memiliki dunia lain yang aku tidak boleh
memasukinya. Mungkin kak Ahmad menjadi tempat pelarianku dari mereka.
Namun roda waktu berputar sangat cepat.
Sampai-sampai aku tidak bisa mengingat saat-saat perpisahan sudah ada di depan
mata. Kak Ahmad telah lulus dengan nilai terbaik se-kabupaten. Dia menerima
penghargaan dari kepala sekolah di atas panggung perayaan perpisahan siswa
kelas enam. Disaksikan oleh seluruh wali murid dan semua anak-anak sesekolah.
Dia tersenyum terlihat bahagia sekali. Sedang aku menangis dalam diam jauh di belakang.
Bangga dan terharu. Tapi dada ku terasa sesak dan sesuatu seakan-akan mengiris
hatiku.
Aku berlari saat dia hendak menemuiku. Aku
ingin menghindari kata-kata perpisahan darinya. Karena aku tidak ingin
berpisah. Tidak ingin sejengkal pun jauh darinya. Aku terus berlari menembus
angin sepi yang menghembuskan udara perpisahan dari bibirnya. Aku pergi tanpa
menoleh lagi untuk melihatnya terakhir kali. Karena aku yakin saat itu aku akan
bertemu lagi dengannya.
Setelah habis waktu liburan aku kembali ke
sekolah. Tapi kurasakan kehampaan yang begitu besar menyelimuti sekolah. Aku mencari
kak Ahmad di setiap tempat. Tapi tidak kutemukan. Aku terus mencari ke
tempat-tempat yang selalu kami kunjungi. Hanya ada sekilas bayangannya yang
kemudian pergi tersapu angin. Aku kehilangan lagi. Setelah semua kakak-kakak
ku. Kini kak ahmad pun mengikuti jejak mereka. Mungkin nanti aku pun akan pergi
seperti mereka. Meninggalkan masa kecil menuju masa remaja.
Selanjutnya hari-hariku kembali sepi. Aku
menjadi anak pendiam dan selalu murung di kelas. Aku tidak memiliki teman lagi.
Sampai kapanpun aku tidak akan menemukan sosok seperti kak ahmad. Karena itu
aku berhenti mencari sahabat. Terutama sahabat dekat. Aku menutup diri.
Alasannya adalah sederhana. Aku takut perpisahan. Memang kak ahmad tidak pergi
jauh atau menghilang dari pandanganku. Tapi dia bukan kak Ahmad yang memakai
seragam putih merah lagi. Dia telah menemukan langitnya yang biru seperti
celana yang dia pakai. Hanya tersenyum dan melambai dari jauh. Saat kami tidak
sengaja bertemu dan dia sedang bersama teman-temannya.
Aku sadari kepergian kak Ahmad dari hidupku
menjadikan diriku lebih mandiri. Tidak lagi manja dan berusaha melakukan segala
hal sendirian. Setelah lulus SD, aku melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama
yang berbeda dengan kak Ahmad. Lagi pula jika aku sekolah di tempat kak Ahmad
sekolah pun aku tidak akan pernah seangkatan dengannya. Pastinya ketika aku
masuk dia baru saja lulus.
Saat usiaku menginjak masa remaja. Aku mulai
memiliki rasa malu. Apalagi sebagai seorang perempuan. Ada getaran-getaran aneh
yang mulai muncul di dalam dadaku. Aku jadi sengaja menjauhi kak Ahmad. Selalu
menghindar darinya. Dan sebagai pelariannya aku mulai membuka diri. Karena aku
sadar bukan langkah yang baik jika terus berlarut-larut dalam kenangan.
Pergaulanku semakin luas. Temanku terus bertambah. Perlahan-lahan aku mulai
melupakannya. Sedikit demi sedikit jejaknya memudar. Hingga ahirnya bersih
tersapu dengan hadirnya orang yang menempati tempat terindah di hatiku. Dia
mengenalkan aku pada perasaan yang disebut cinta.
Kemudian aku masuk SMA tempat kak Ahmad dulu
belajar. Bukan karena ingin mengikuti jejaknya. Tapi sekolah itu adalah sekolah
favorit. Dan kekasihku melanjutkan kesana. Aku terus belajar akan cinta. Tapi semakin
aku megenali dan memahami cinta. Aku jadi tersadar. Apakah cinta pertamaku
adalah kak ahmad?
Kak Ahmad ternyata populer di sekolah itu.
Meskipun sudah lulus, dia tetap dipuja-puja oleh anak-anak yang pernah
seangkatan dengannya. Begitu istimewanya dia sehingga guru-guru pun selalu
menceritakannya kepada kami di kelas. Mereka bilang kami harus bersemangat
belajar dan tak pernah menyerah atau mengenal kata gengsi seperti dia. Dia
adalah anak paling jenius yang pernah dimiliki sekolah ini. Prestasinya segudang
dan membawa harum nama sekolah di tingkat nasional.
Kenangan-kenangan masa lalu kembali hadir. Aku
selalu teringat lagi sosok kak Ahmad. Waktu-waktu bersamanya dulu yang sungguh
sangat menyenangkan. Dan entah kenapa aku merasakan sesuatu yang aneh menelusuk
ke dalam kalbu ketika aku mengingat wajahnya.
Suatu hari saat matahari telah condong ke barat
dan bayangan ukurannya sama dengan aslinya, aku tidak sengaja bertemu dengan
kak Ahmad di tempat menunggu angkutan umum. Dia tersenyum dan yang pertama
menyapa. Aku kaget. Aku kira dia sudah tidak mengenaliku lagi. Dia masih kak
Ahmad yang dulu dalam sikapnya. Dia tumbuh menjadi pemuda yang gagah dan
berwibawa. Walau rupanya tidak terlalu tampan tapi sikapnya ramah dan lembut
dalam bertutur kata. Kami saling bertukar cerita tentang perjalanan hidup kami
setelah terpisah sekian lama. Kecuali pacarku. Entah kenapa aku tidak
menceritakannya. Bukan karena dia tidak menceritakan tentang kisah cintanya.
Tapi sepertinya aku menyimpan secuil harapan di dalam hati untuk bisa
bersamanya lagi seperti dulu. Aku tahu bahwa aku tidak benar-benar melupakannya
selama ini.
Kami pulang bersama. Rumah kami memang satu
arah. Dia sedang liburan. Makanya dia bisa pulang dan tidak sengaja bertemu
denganku. Selama perjalanan pulang kami terus bertukar cerita. Dia mendapat
beasiswa dari salah satu perguruan tinggi terkemuka di negeri ini. Hebat. Dan
aku bangga sekali kepadanya. Tidak sekedar belajar dia juga bekerja untuk
menghidupi keluarganya yang tinggal sang ibu dan adik perempuannya. Aku mendengar
ayahnya meninggal beberapa waktu yang lalu.
Sebelum kami berpisah di persimpangan jalan,
dia menasehatiku agar tetap semangat untuk meraih cita-cita. Terus belajar dan
menggunakan kesempatan sebaik-baiknya. Dia juga berpesan agar aku selalu
istiqomah dalam kebaikan dan tidak melalaikan bakti kepada orang tua.
Aku simpan rapi kata-katanya itu dalam hati. Ku
pegang erat dalam ingatan. Aku tulis dalam memori. Karena aku tahu sulit
untukku bisa bertemu dengannya lagi. Dia juga tersenyum dan menatapku lama
sebelum dia berbalik pergi. Mataku memotretnya dan aku simpan di sampul album kenangan
bersamanya.
Esok harinya aku bangun dari tidurku yang
indah. Karena aku memimpikan kak Ahmad. Aku melihatnya sedang berada di taman
yang luas tiada batas. Dia sedang duduk di bawah pohon anggur yang buahnya
menyentuh permukaan tanah sambil asyik membaca buku. Sadar aku yang memperhatikannya,
dia menoleh ke arahku. Lalu dia tersenyum dan mengulurkan tangannya. Tapi saat
ingin meraih tangannya itu, aku tidak bisa karena tiba-tiba saja aku terbangun
dari tidurku.
Pagi itu mentari bersinar hangat. Langit biru
cerah tanpa awan. Sungguh sempurna dengan tambahan melodi-melodi ceria dari
kicauan burung-burung. Pejalanan ke sekolah jadi begitu indah. Tapi saat aku
berada di persimpangan. Langit mendadak menjadi mendung. Matahari tertutup awan
hitam. Sambaran petir membelah langit diikuti guntur yang mengelegar. Cuaca
tiba-tiba berubah dengan cepat ketika melihat segerombolan orang berjalan
sambil melantunkan kalimat toyibah menuju pemakaman. Empat orang dari mereka
mengusung benda yang terutup kain hijau lebar bertuliskan kaligrafi lafadz
laailaaha illallah muhammadur rasulullah.
Aku hanya bisa diam dan terpaku di atas kaki.
Seorang Ibu menceritakan siapa yang ada di balik kain hijau itu. Aku tidak
percaya jika dia adalah orang yang semalam aku impikan. Tadi malam dia
mengalami kecelakaan motor saat akan membelikan obat untuk ibunya.
Air mata mengalir tiba-tiba dengan derasnya
tanpa bisa aku bendung. Aku sulit bernafas karena dada ini begitu sesak. Hati terasa
sakit, perih sekali. Ternyata senyuman kemarin itu adalah senyuman selamat
tinggal darinya. Dan mimpiku tadi malam adalah kabar bahwa dia sekarang sudah
berada di tempat yang paling indah di sisi-Nya.
Sejak itu aku tidak pernah bertemu dengannya
lagi. Dia kembali pergi. tapi tidak untuk kembali. Menghilang dari kehidupanku
untuk selamanya. Dia melanjutkan kehidupannya di dimensi lain dan aku pun harus
kembali kepada kehidupanku sebenarnya. Namun harapan itu tetap ada. Aku berdoa
semoga suatu saat nanti aku di pertemukan lagi dengannya.
Babakan,
10/06/2013. 11:55
Untuk
sahabatku dalam dimensi baru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar