Jumat, 13 Desember 2013

Cerpen " Selembar Kisah Tentangnya"



Selembar Kisah Tentangnya
Aku coba menulis kisahnya. Bukan kisah diriku tapi kisah tentang dirinya. Sebab jika aku tuturkan mulut ini tidak akan sanggup menahan emosi dari dalam hati. Padahal tanganku pun tidak mahir memegang pena. Jari-jarinya pun kaku sekali tidak pantas menoreh tinta. Tapi aku akan berusaha tetap menegakan hati untuk menatap hidup dengan
mengambil hikmah dari kisahnya. Walau tak pandai merangkai kata akan ku coba menghimpunnya dalam diary hidupku. Sebagai bukti bahwa dia pernah jadi bagian berarti dalam hidupku. Bukan hanya bagi diriku, tapi juga bagi orang-orang yang pernah bersamanya.
Ahmad namanya. Dalam remang-remang kenangan waktu sekolah dasar pertama kali aku kenal dia. Ahmad orang pertama yang menyapaku di bangkunya. Ketika aku nakal masuk ke ruangan kelas empat tempat ayahku mengajar. Menyisir satu persatu barisan bangku. Sebagai anak kecil itulah hobiku dulu. Menguntit Ayah ke sekolah. Mengikuti langkahnya menuju kelas. Ayah tidak pernah marah hanya sesekali melototiku jika aku membuat kegaduhan di kelas.
Aku duduk di kelas satu. Dan kak Ahmad di kelas empat. Terpaut tiga tahun usia kami. Seperti adik kakak, kami selalu menghabiskan waktu bersama. Untuk belajar ataupun bermain. Dia adalah pelawak terhebat yang aku kenal. Selalu saja aku dibuat tertawa oleh ucapan dan tingkahnya. Tidak ada kesedihan yang ku dapat dari raut wajahnya ataupun rasa malu. Meski sehari-hari dia harus berjualan es di sekolah. Prestasinya jauh di atas rata-rata. Dia sungguh sangat pintar dan jenius. Sehingga dia pernah dinobatkan menjadi siswa teladan se-kabupaten.
Dia sangat rajin dan tidak pernah ragu untuk melakukan segala hal. Orang-orang menyukainya karena tidak pernah sungkan untuk menolong orang lain. Dia disayang semua orang sehingga kebaikan selalu menghampirinya. Uang hasil jualan selalu dia berikan kepada orang tuanya. Dan hanya sebagian kecil dia sisihkan di sakunya. Untuk melanjutkan sekolah katanya. Saat ku bertanya karena aneh melihat kak Ahmad memisahkan uang hasil jualan di suatu hari yang panas. Saat itu aku membeli es terakhir dalam termosnya. Kami duduk di atas tembok pagar sekolah di bawah terik matahari siang.
“ Aku ingin sekolah setinggi-tingginya, cha. Melihat langit di belahan bumi yang lain.”
Aku melihat sinar di mata kak Ahmad. Sinar yang mengalahkan terik si raja siang di atas sana. Pandangannya jauh menembus awan. Menelisik di langit biru. Mungkin di sana lah cita-cita kak Ahmad di ruang yang tak dapat ku jangkau hanya dengan mataku.
“ Apa aku juga bisa pergi kesana, kak?”
“ Tentu saja bisa. Bagi kamu itu akan mudah karena Ayah kamu. Tapi bagiku akan sedikit sulit.”
Kedekatan aku dengan kak Ahmad menjadi bumerang bagi ku di kelas. Semua teman-teman meneriaki aku sebagai pacar kak Ahmad. Saat itu aku belum paham apa itu pacaran. Aku merasa kedekatanku dengan kak Ahmad sama saja dengan kedekatan ku dengan mereka. Sebagai teman atau sahabat. Tentunya di kelas dan di luar kelas aku selalu saja jadi bulan-bulanan teman-temanku. Aku selalu marah kepada mereka. Aku benci mereka. Dan kalau kepergok aku sedang bersama kak Ahmad, dia hanya tersenyum dan meminta mereka untuk membeli es jualannya.
Sebenarnya aku tidak sekedar menganggap dia sahabat. Tapi sudah ku anggap kakak ku sendiri. Karena aku kehilangan semua kakak ku yang dulu selalu mengajak aku bermain. Saudaraku itu kebetulan semuanya lelaki. Dan aku biasa nyaman dengan mereka. Ketika mereka pergi untuk melanjutkan pendidikan ke yang lebih tinggi, mereka tidak punya waktu lagi untuk bermain denganku. Mereka memiliki dunia lain yang aku tidak boleh memasukinya. Mungkin kak Ahmad menjadi tempat pelarianku dari mereka.
Namun roda waktu berputar sangat cepat. Sampai-sampai aku tidak bisa mengingat saat-saat perpisahan sudah ada di depan mata. Kak Ahmad telah lulus dengan nilai terbaik se-kabupaten. Dia menerima penghargaan dari kepala sekolah di atas panggung perayaan perpisahan siswa kelas enam. Disaksikan oleh seluruh wali murid dan semua anak-anak sesekolah. Dia tersenyum terlihat bahagia sekali. Sedang aku menangis dalam diam jauh di belakang. Bangga dan terharu. Tapi dada ku terasa sesak dan sesuatu seakan-akan mengiris hatiku.
Aku berlari saat dia hendak menemuiku. Aku ingin menghindari kata-kata perpisahan darinya. Karena aku tidak ingin berpisah. Tidak ingin sejengkal pun jauh darinya. Aku terus berlari menembus angin sepi yang menghembuskan udara perpisahan dari bibirnya. Aku pergi tanpa menoleh lagi untuk melihatnya terakhir kali. Karena aku yakin saat itu aku akan bertemu lagi dengannya.
Setelah habis waktu liburan aku kembali ke sekolah. Tapi kurasakan kehampaan yang begitu besar menyelimuti sekolah. Aku mencari kak Ahmad di setiap tempat. Tapi tidak kutemukan. Aku terus mencari ke tempat-tempat yang selalu kami kunjungi. Hanya ada sekilas bayangannya yang kemudian pergi tersapu angin. Aku kehilangan lagi. Setelah semua kakak-kakak ku. Kini kak ahmad pun mengikuti jejak mereka. Mungkin nanti aku pun akan pergi seperti mereka. Meninggalkan masa kecil menuju masa remaja.
Selanjutnya hari-hariku kembali sepi. Aku menjadi anak pendiam dan selalu murung di kelas. Aku tidak memiliki teman lagi. Sampai kapanpun aku tidak akan menemukan sosok seperti kak ahmad. Karena itu aku berhenti mencari sahabat. Terutama sahabat dekat. Aku menutup diri. Alasannya adalah sederhana. Aku takut perpisahan. Memang kak ahmad tidak pergi jauh atau menghilang dari pandanganku. Tapi dia bukan kak Ahmad yang memakai seragam putih merah lagi. Dia telah menemukan langitnya yang biru seperti celana yang dia pakai. Hanya tersenyum dan melambai dari jauh. Saat kami tidak sengaja bertemu dan dia sedang bersama teman-temannya.
Aku sadari kepergian kak Ahmad dari hidupku menjadikan diriku lebih mandiri. Tidak lagi manja dan berusaha melakukan segala hal sendirian. Setelah lulus SD, aku melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama yang berbeda dengan kak Ahmad. Lagi pula jika aku sekolah di tempat kak Ahmad sekolah pun aku tidak akan pernah seangkatan dengannya. Pastinya ketika aku masuk dia baru saja lulus.
Saat usiaku menginjak masa remaja. Aku mulai memiliki rasa malu. Apalagi sebagai seorang perempuan. Ada getaran-getaran aneh yang mulai muncul di dalam dadaku. Aku jadi sengaja menjauhi kak Ahmad. Selalu menghindar darinya. Dan sebagai pelariannya aku mulai membuka diri. Karena aku sadar bukan langkah yang baik jika terus berlarut-larut dalam kenangan. Pergaulanku semakin luas. Temanku terus bertambah. Perlahan-lahan aku mulai melupakannya. Sedikit demi sedikit jejaknya memudar. Hingga ahirnya bersih tersapu dengan hadirnya orang yang menempati tempat terindah di hatiku. Dia mengenalkan aku pada perasaan yang disebut cinta.
Kemudian aku masuk SMA tempat kak Ahmad dulu belajar. Bukan karena ingin mengikuti jejaknya. Tapi sekolah itu adalah sekolah favorit. Dan kekasihku melanjutkan kesana. Aku terus belajar akan cinta. Tapi semakin aku megenali dan memahami cinta. Aku jadi tersadar. Apakah cinta pertamaku adalah kak ahmad?
Kak Ahmad ternyata populer di sekolah itu. Meskipun sudah lulus, dia tetap dipuja-puja oleh anak-anak yang pernah seangkatan dengannya. Begitu istimewanya dia sehingga guru-guru pun selalu menceritakannya kepada kami di kelas. Mereka bilang kami harus bersemangat belajar dan tak pernah menyerah atau mengenal kata gengsi seperti dia. Dia adalah anak paling jenius yang pernah dimiliki sekolah ini. Prestasinya segudang dan membawa harum nama sekolah di tingkat nasional.
Kenangan-kenangan masa lalu kembali hadir. Aku selalu teringat lagi sosok kak Ahmad. Waktu-waktu bersamanya dulu yang sungguh sangat menyenangkan. Dan entah kenapa aku merasakan sesuatu yang aneh menelusuk ke dalam kalbu ketika aku mengingat wajahnya.
Suatu hari saat matahari telah condong ke barat dan bayangan ukurannya sama dengan aslinya, aku tidak sengaja bertemu dengan kak Ahmad di tempat menunggu angkutan umum. Dia tersenyum dan yang pertama menyapa. Aku kaget. Aku kira dia sudah tidak mengenaliku lagi. Dia masih kak Ahmad yang dulu dalam sikapnya. Dia tumbuh menjadi pemuda yang gagah dan berwibawa. Walau rupanya tidak terlalu tampan tapi sikapnya ramah dan lembut dalam bertutur kata. Kami saling bertukar cerita tentang perjalanan hidup kami setelah terpisah sekian lama. Kecuali pacarku. Entah kenapa aku tidak menceritakannya. Bukan karena dia tidak menceritakan tentang kisah cintanya. Tapi sepertinya aku menyimpan secuil harapan di dalam hati untuk bisa bersamanya lagi seperti dulu. Aku tahu bahwa aku tidak benar-benar melupakannya selama ini.
Kami pulang bersama. Rumah kami memang satu arah. Dia sedang liburan. Makanya dia bisa pulang dan tidak sengaja bertemu denganku. Selama perjalanan pulang kami terus bertukar cerita. Dia mendapat beasiswa dari salah satu perguruan tinggi terkemuka di negeri ini. Hebat. Dan aku bangga sekali kepadanya. Tidak sekedar belajar dia juga bekerja untuk menghidupi keluarganya yang tinggal sang ibu dan adik perempuannya. Aku mendengar ayahnya meninggal beberapa waktu yang lalu.
Sebelum kami berpisah di persimpangan jalan, dia menasehatiku agar tetap semangat untuk meraih cita-cita. Terus belajar dan menggunakan kesempatan sebaik-baiknya. Dia juga berpesan agar aku selalu istiqomah dalam kebaikan dan tidak melalaikan bakti kepada orang tua.
Aku simpan rapi kata-katanya itu dalam hati. Ku pegang erat dalam ingatan. Aku tulis dalam memori. Karena aku tahu sulit untukku bisa bertemu dengannya lagi. Dia juga tersenyum dan menatapku lama sebelum dia berbalik pergi. Mataku memotretnya dan aku simpan di sampul album kenangan bersamanya.
Esok harinya aku bangun dari tidurku yang indah. Karena aku memimpikan kak Ahmad. Aku melihatnya sedang berada di taman yang luas tiada batas. Dia sedang duduk di bawah pohon anggur yang buahnya menyentuh permukaan tanah sambil asyik membaca buku. Sadar aku yang memperhatikannya, dia menoleh ke arahku. Lalu dia tersenyum dan mengulurkan tangannya. Tapi saat ingin meraih tangannya itu, aku tidak bisa karena tiba-tiba saja aku terbangun dari tidurku.
Pagi itu mentari bersinar hangat. Langit biru cerah tanpa awan. Sungguh sempurna dengan tambahan melodi-melodi ceria dari kicauan burung-burung. Pejalanan ke sekolah jadi begitu indah. Tapi saat aku berada di persimpangan. Langit mendadak menjadi mendung. Matahari tertutup awan hitam. Sambaran petir membelah langit diikuti guntur yang mengelegar. Cuaca tiba-tiba berubah dengan cepat ketika melihat segerombolan orang berjalan sambil melantunkan kalimat toyibah menuju pemakaman. Empat orang dari mereka mengusung benda yang terutup kain hijau lebar bertuliskan kaligrafi lafadz laailaaha illallah muhammadur rasulullah.
Aku hanya bisa diam dan terpaku di atas kaki. Seorang Ibu menceritakan siapa yang ada di balik kain hijau itu. Aku tidak percaya jika dia adalah orang yang semalam aku impikan. Tadi malam dia mengalami kecelakaan motor saat akan membelikan obat untuk ibunya.
Air mata mengalir tiba-tiba dengan derasnya tanpa bisa aku bendung. Aku sulit bernafas karena dada ini begitu sesak. Hati terasa sakit, perih sekali. Ternyata senyuman kemarin itu adalah senyuman selamat tinggal darinya. Dan mimpiku tadi malam adalah kabar bahwa dia sekarang sudah berada di tempat yang paling indah di sisi-Nya.
Sejak itu aku tidak pernah bertemu dengannya lagi. Dia kembali pergi. tapi tidak untuk kembali. Menghilang dari kehidupanku untuk selamanya. Dia melanjutkan kehidupannya di dimensi lain dan aku pun harus kembali kepada kehidupanku sebenarnya. Namun harapan itu tetap ada. Aku berdoa semoga suatu saat nanti aku di pertemukan lagi dengannya.

Babakan, 10/06/2013. 11:55
Untuk sahabatku dalam dimensi baru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar