Jumat, 13 Desember 2013

Cerpen "Cinta itu Normal"



Cinta itu Normal
“ Nis!!”
Sebuah sapaan menghentikan langkah kakiku memasuki kelas. Kepalaku pun berputar sembilan puluh derajat ke arah kanan, arah sumber sapaan itu. Aku kenal betul suara lembut yang memanggil namaku itu. Padahal dulu suara itu sangat asing sekali.
“ Ya, ada apa?” tanyaku, untuk memastikan apa dia hanya menyapa bukan memanggil. Jujur, sebenarnya aku belum bisa membedakan antara sapaan atau panggilan darinya.
“ Enggak, sana masuk!” jawabnya seraya tersenyum.
Tuh, kan. Aku selalu saja dibuat bingung. Kena lagi deh. Kali in dia menyapaku. Dan untuk kedua kalinya sapaan itu terasa aneh.
Aku dan Riza baru kenal enam bulan.
Sebenarnya sudah lama aku tahu Riza. Mungkin dia juga sama. Rumahnya masih satu komplek dengan rumahku. Dulu aku sering melihatnya pagi-pagi di jalan ketika dia akan berangkat ke sekolah. Aku juga sering berpapasan dengannya jika sedang bermain dengan teman-teman. Dia orangnya jutek abis. Belum pernah sekalipun aku melihat dia tersenyum. Selengkung saja. Hampir semua teman-temanku pun tidak menyukainya.
Tapi kini setelah satu kampus dengan Riza dan sama-sama aktif di HMI, kami jadi sering bertemu. Sapaan-sapaan sering terlontar dari mulut kami berdua. Dan aku juga ahirnya bisa melihat dia tersenyum. Ternyata senyumannya manis sekali. Wajahnya bulat, hidung mancung dan kulitnya bersih mulus. Benar-benar menyerupai artis korea yang banyak disukai kaum hawa, Kim Bum. Itu sih kata orang lain. Tapi menurutku lebih bagusan Riza daripada personil F4 itu.
Awalnya aku juga tidak begitu suka dengan Riza. Juteknya dimakan sendiri. Rautnya terkesan sombong dan tidak peduli pada orang-orang di sekitar dirinya. Tapi suatu hari, aku mengantar Sani temanku menjemput adiknya di Sekolah Luar Biasa. Adiknya Sani tuna rungu sejak lahir. Tapi dia sangat menyayangi adik satu-satunya itu meskipun tidak sempurna. Dia juga tidak pernah merasa malu terhadap orang lain.
Tiba disana, aku terkesima melihat anak-anak luar biasa itu. Mereka tampak semangat dan ceria. Rona kebahagiaan terpancar dari raut wajah mereka. Berbeda sekali dengan yang sering aku lihat di luar. Anak-anak luar biasa itu seperti tidak memiliki tempat. Tapi di disini mereka bebas beraksi. Bebas melakukan hal-hal yang mereka sukai.
Tidak aku duga ternyata ada seorang pemuda disana. Dia sedang mengajak bermain seorang anak autis. Dia adalah Riza. Pria yang selalu mengatupkan mulutnya. Tapi kepada anak itu dia berikan senyumannya. Dipeluknya anak itu dengan penuh rasa sayang. Dia biarkan anak itu bermain di atas punggungnya. Mereka tertawa-tawa lepas tiada beban. Betapa indahnya melihat keakraban itu. Seperti tidak ada perbedaan sedikitpun diantara mereka. Bahwa mereka sama-sama manusia. Riza menyadari aku memperhatikannya. Namun sepertinya dia tidak peduli. Dia hanya melihatku sebentar lalu pergi membawa anak itu.
*
Seterusnya aku sering mengantar Sani menjemput adiknya. Dan aku selalu melihat Riza disana. Tapi dia selalu diam dan tidak peduli. Aku sendiri ragu untuk menyapanya. Sampai tiba pada suatu hari, aku tengah berjalan menyusuri sisi jalan raya pulang kuliah bersama Sani. Tiba-tiba seseorang memanggil namaku. Aku celingukan mencari sosok yang memanggilku. Aneh. Tidak ada siapa-siapa kecuali Riza yang sedang berjalan di belakangku sambil menggendong anak autis yang baru ketahui bahwa anak itu adiknya. Aku dan Sani bingung. Kami terbengong-bengong aneh. Kok bisa? Apa benar Riza yang tadi menyapaku? Saat aku sadar Riza sudah tidak ada lagi ditempatnya. Tidak tahu kemana perginya. Menghilang begitu saja.
Hari-hari berikutnya aku kembali bertemu dengan Riza. Di kampus atau di sekolah luar biasa. Tapi sikapnya masih seperti sebelumnya. Acuh dan jutek. Aku kira setelah hari itu aku bisa akrab dengannya. Tapi seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Misterius. Apa waktu itu hanya halusinasiku saja atau hantu. Tidak mungkin jelas-jelas Sani juga mendengarnya.
Saat aku mengantar Sani menjemput adiknya ada kejadian yang akhirnya membawa aku mengenal Riza. Setelah bel pulang berbunyi, anak-anak hebat itu berhamburan keluar dari kelasnya masing-masing. Sani segera mendapatkan adiknya. Anak-anak yang lain pun disambut oleh penjemput mereka. Namun ketika kami akan meninggalkan sekolah, terdengar suara tangisan kecil dari seorang anak autis yang sedang menunggu penjemputnya. Kami merasa iba mendengar suara tangisnya yang cukup menyayat hati itu. Aku segera menghampiri anak itu. Ternyata dia adik Riza. Aku coba menghiburnya sedang hatiku bertanya-tanya kemana Riza. Kok tumben dia terlambat menjemput adiknya.
“ Hafidz ! ” tiba-tiba Riza datang dengan nafas tersenggal-senggal. Raut anak itu mendadak berubah. Tampaknya dia senang melihat Riza datang. Dia berlari ke arah Riza dan memeluknya. Riza meminta maaf kepadanya karena terlambat datang. Dia tersenyum untuk menyenagkan hati anak itu.
“ Terima kasih udah mau menjaga Hafidz.”
Aku tidak tidak percaya dia berbicara kepadaku sambil tersenyum pula.
“ Ya, sama-sama.” Jawabku sedikit ragu.
Dia menaikan Hafidz ke atas punggungnya dengan hati-hati.
“ Yuk kita pulang, Nis!”
Wah, dia menyebut namaku. Sungguh tidak bisa kupercaya. Aku jadi bengong.
“ Namamu Nisa kan?”
“ Iya, iya aku Nisa. Ayo!” jawabku gerogi. Tapi aku bisa mengendalikan diriku untuk bersikap biasa-biasa saja.
Aku mencoba menggunakan kesempatan langka ini untuk mengenal Riza. aku beranikan diri untuk mengajaknya bicara selama kami berjalan pulang. Dan tidak aku sangka dia menyambutnya dengan baik. Riza saat ini bebeda sekali dengan Riza sebelumnya. Langkah demi langkah kami lewati. Jalanan kami susuri. Hembusan angin membawa tawa-tawa kecil kami ke udara. Ada yang melintas di hati saat mata kami bertemu.
Perjalanan terasa sangat panjang. Sampai-sampai kami tidak menyadari awan hitam di atas kami mencurahkan keharuannya. Tetes-tetesan hujan menyirami kami. Kami berlarian ketempat yang teduh. Dia segera melindungi adiknya agar tidak kena air hujan. Hujan telah menyekat perjalanan pertamaku dengan Riza. Sehingga perjalanan pulang ini semakin lebih panjang. Tapi aku senang. Rasa dingin aroma hujan pun tak kurasakan. Karena getaran-getaran di dalam dadaku memberi kehangatan ke seluruh tubuh.
*
Esok harinya aku tidak melihat Riza di kampus. Tidak ada kabar darinya. Aku coba menghubunginya. Tapi tidak ada jawaban. Dan hari itu aku tidak ada jadwal sore. Siang pun aku sudah ada di rumah. Jadi aku tidak tahu Riza datang atau tidaknya. Sepulang kuliah mama menyuruhku mengantar pesanan pakaian kepada pelanggan. Masih tetangga kami jadi tidak jauh hanya berbeda gang.
Setelah mengucapkan salam, aku di persilahkan masuk oleh anak kecil yang mukanya mirip dengan Hafidz adik Riza. Dan disuruh menunggu sebentar di ruang tamu. Aku baru tahu jika itu rumah Riza. Ruang tamunya cukup besar. Banyak hiasan unik tertata rapi di dalam lemari kaca. Kaligrafi dan beberapa foto keluarga berukuran besar menghiasi dinding. Lalu aku tertarik untuk memperhatikan foto-foto itu. Dalam satu bingkai besar tampak anak-anak yang mukanya mirip-mirip berdiri berjajar dengan memakai seragam jas untuk anak laki-laki dan gaun untuk anak perempuan. Satu wajah yang hanya aku kenali yaitu Hafidz. Di foto itu dia masih kecil di banding saat ini. Tapi jika hafidz ada Riza pun harus ada. Bukankah dia kakaknya hafidz. Setelah pindah ke foto selanjutnya baru aku melihat Riza tengah memeluk hafidz diapit oleh seorang wanita muda dan seorang pria paruh baya. Tapi di foto-foto berikutnya aku tidak menemukan Hafidz ataupun Riza.
“ Ehm!!”
Tiba terdengar suara deheman yang langsung aku kenali. Tampak Riza tengah berdiri sambil melipat tangan. Aku tidak tahu sejak kapan dia disana.
“ Kenapa gak kuliah hari ini? Aku sms gak dibalas-balas.” Aku menghampirinya.
“ Hafidz sakit.” Ucapnya sedih.
“ Hafidz sakit? Sakit apa?” aku juga sedih mendengarnya.
“ Demam. Aku gak bisa ninggalin dia sendiri.”
Mungkin gara-gara kemarin pulang hujan-hujanan. Kasihan Hafidz. Aku dan Riza yang memang sudah besar tidak masalah kehujanan. Tapi buat anak kecil seperti dia jadi bahaya.
“ Gara-gara kemarin ya?” tanyaku dengan raut penyesalan.
Dia menjawab hanya dengan senyuman dan anggukan. Menurut ceritanya Hafidz memang tidak boleh kedinginan atau terkena air hujan karena dia mudah sekali sakit.
“ Kok kamu sih yang harus seharian ngurus dia. Apa gak kamu serahin dulu sama keluarga kamu yang lain? Kamu juga harus kuliah.”
Meskipun aku ragu dan sedikit takut, aku ajukan pertanyaan itu sambil melihat foto-foto di dinding. Didorong oleh rasa penasaranku yang begitu besar.
“ Hafidz hanya butuh aku, tidak butuh mereka.”
Aku terkejut melihat ekspresinya yang datar.
“ Siapa sih yang tidak kecewa memiliki sebuah kekurangan. Apalagi bagi mereka yang menganggap ketidak normalan adalah aib.”
“ Di rumah ini mereka lebih bangga memajang ini daripada itu.” Riza menunjuk foto-foto yang  sengaja diletakan agar mudah terlihat. Foto yang memperlihatkan seluruh anggota keluarga tanpa hapidz dan dirinya. Lalu menunjuk satu bingkai foto kecil yang tadi pertamakali aku lihat.
Tiba-tiba aku mendengar suara tangisan dari dalam diikuti teriakan seorang perempuan memanggil Riza. Riza segera pergi melewati ruang keluarga lalu menghilang. Lalu datang seorang perempuan paruh baya menyambutku. Sepertinya dia sudah mengetahui maksud kedatanganku.
Setelah selesai urusan dengan Ibunya Riza, aku langsung pulang. Dalam hati terbesit ingin menjenguk hafidz. Tapi Riza tidak ada. Aku tidak tahu dimana kamarnya. Ribuan pertanyaan terbenam dalam otakku. Aku ingin tahu lebih tentang kehidupan Riza. Tapi aku bukan siapa-siapa baginya. Aku tidak punya hak.
Selama beberapa hari aku tidak melihat Riza masuk kuliah. Aku sangat merindukannya. Dihubungi susah. Aku rasa ada yang terjadi dengan adiknya. Dia lebih mementingkan adiknya daripada dirinya sendiri. Akhirnya aku bisa melihatnya di Rumah Sakit. Wajahnya terlihat kusut karena kurang tidur.
Selama menunggu Hafidz yang terbaring lemas, Riza bercerita tentang kehidupannya. Padahal aku sama sekali tidak minta atau menyinggung sedikitpun. Mengalir begitu saja. Dia membawaku menyelusuri lorong-lorong waktu ke belakang. Memutar balik arah jarum jam.
Sebenarnya Hafidz bukan adik kandung Riza. Ayah Riza menikahi ibunya hafidz setelah ditinggal wafat ibunya Riza. Awalnya Riza tidak setuju. Tapi setelah melihat Hafidz akhirnya dia mengijinkan ayahnya menikah lagi. Karena ibunya Riza juga seorang autis. Dia dan kakaknya terlahir normal. Ibunya Riza sangat menyayangi mereka berdua. Mereka diasuh dengan penuh kelembutan dan senyuman olehnya. Walaupun ibunya tidak normal. Riza tidak malu dan tetap membanggakan ibunya. Dan dia juga tidak marah ketika teman-temannya mengejek-ejek dirinya karena memiliki ibu idot. Sebab dia melihat sendiri bagaimana ibunya yang selalu tersenyum kepada siapapun yang mencelanya.
*
Sejak pulang dari rumah sakit, Riza disibukan dengan mengejar perkuliahannya yang tertinggal selama merawat Hapidz. Banyak tugas yang harus dia selesaikan. Kami tidak sempat bertemu. Hanya melihat dari kejauhan. Aku tahu dia orang yang bertanggung jawab. Sehingga segala hal yang menurutnya penting akan dia lakukan sebaik-baiknya. Walaupun sibuk dia masih menjemput Hafidz yang sudah mulai sekolah lagi. Karena Hapidz adalah yang utama baginya. Besar harapanku agar bisa bertemu dengan Riza di sekolah luar biasa itu.
Namun Riza seperti tidak mempedulikanku. Dia tidak menyapaku saat dia datang ataupun tersenyum. Dia langsung memasuki ruangan guru bersama Hafidz. Aku ingin menunggu dia. Ada yang ingin aku bicarakan denganya. Tapi aku ragu. Jadinya aku pulang bersama Sani lagi.
Baru beberapa langkah meninggalkan sekolah, tiba-tiba ponsel Sani berbunyi. Mamanya sudah menunggu di Rumah sakit. Ada saudaranya yang sedang sakit parah. Sani meminta maaf padaku bahwa dia tidak bisa pulang bersama. Dia pergi terburu-buru dengan adiknya menuju rumah sakit.
Tinggallah aku mematung sendirian di tepi jalan. Lalu aku teringat Riza. segera aku kembali ke dalam sekolah. Ku dapati dia sedang duduk di atas bangku panjang di bawah pohon halaman sekolah. tempat yang biasa dipakai para pengantar menunggu anak-anak luar biasa itu belajar. Hafidz bebaring dengan kepalanya di atas pangkuan Riza. Tampaknya dia sedang tidur. Riza mengusap-usap kepalanya. Aku perhatikan sepertinya Riza kelelahan. Dia sedang beristirahat. Pandangannya lurus kedepan. Tapi tampak kosong.
Tiba-tiba dia menoleh ke arahku tanpa ekspresi. Lalu mengembalikan pandang ke semula. Aku merasa sedih. Sepertinya dia sudah melupakanku atau dia tidak menganggapku temannya lagi.
“ Belum pulang?” tanya dia. Hatiku kembali tenang. Ternyata dia masih mengenaliku.
“ Sani ada urusan. Jadi gak bisa pulang bareng.” Ragu-ragu aku duduk di dekatnya.
Dia menyimpan telunjuknya di depan mulutnya. Mengisyaratkan agar aku tidak menganggu tidur Hafidz.
“ Nis, apa menurutmu hidupku seperti ini menyebalkan...” dia berbicara dengan menjaga volume suara rendah.
 “ ...tidak normal, karena lebih mementingkan orang yang tidak normal?”
Meski kata-katanya menyimpan emosi, dia tetap datar dan pelan. Aku mulai memahami apa yang sedang terjadi dalam hatinya.
“ Tidak. Bagiku hidupmu lebih indah dan menyenangkan. Bisa berbagi kehidupan dengan orang yang disisihkan dari kehidupan mereka sendiri. Aku bangga padamu.”
“ Ketidak normalan bukanlah kekurangan. Apalagi aib. Sebab manusia itu tidak ada yang sempurna. Penuh kekurangan. Jika kekurangan itu aib, maka semua manusia itu aib. Tapi tidak. Manusia adalah mahluk sempurna bukan aib. Karena ada hal yang membuat manusia itu sempurna.”
“ Kamu tahu apa yang membuat manusia itu sempurna?” aku mencoba melihat matanya. Sesaat lalu dia menghindar.
Angin sepoi-sepoi menyentuh lembut tubuhku. Daun-daun berjatuhan perlahan ke bumi. Dia tersenyum sambil menatap langit.
“ Cinta.” Ucapnya pelan.
Aku terpana mendengar jawabanya itu. Dia tahu itu. Dia memang lebih tahu. Dia curahkan semua kasih sayangnya untuk Hafidz selama ini karena dia sangat mencintai Hafidz. Sehingga baginya dan bagi Hafidz tidak ada yang tidak normal. Mereka saling menyempurnakan.
“ Nis!” sapaannya bernada sama untuk ketiga kalinya. Persis seperti waktu pulang kuliah dulu sebelum aku kenal dia. Dan waktu aku akan masuk kelas. Terdengar aneh ditelingaku.
“ Ya?” aku menoleh. Dan kulihat Riza sedang memandangiku sambil tersenyum.
“ Kamu tahu gak, apa yang bikin aku sempurna?”
“ Ya cintalah.” Jawabku sambil tersenyum geli. Rasanya aneh. Dia menanyakan kembali pertanyaanku tadi.
“ Iya, memang cinta.” Dia mengangguk pelan sambil tertawa kecil.
“ Sejak bertemu kamu, aku belajar satu hal. Aku harus lebih berani membuka diri. Tidak semua orang meremehkan kekurangan. Masih banyak orang di luar sana yang menghargai kekurangan. Karena mereka memiliki rasa cinta.”
“ Dan sepertinya cinta yang kamu taburkan membuatku merasa sempurna.”
Jantungku terasa berhenti sejenak. Daun yang akan jatuh di depanku tiba-tiba diam. Melayang di udara. Seperti jiwaku yang tengah melayang di langit biru. Sungguh aku tidak percaya dia berkata seperti itu.
“ Mau kan, kamu jadi penyempurna hidupku?”
*The End*

Bbkn,12/06/13.22;30

Tidak ada komentar:

Posting Komentar