Cinta itu Normal
“ Nis!!”
Sebuah sapaan menghentikan langkah kakiku
memasuki kelas. Kepalaku pun berputar sembilan puluh derajat ke arah kanan,
arah sumber sapaan itu. Aku kenal betul suara lembut yang memanggil namaku itu.
Padahal dulu suara itu sangat asing sekali.
“ Ya, ada apa?” tanyaku, untuk
memastikan apa dia hanya menyapa bukan memanggil. Jujur, sebenarnya aku belum
bisa membedakan antara sapaan atau panggilan darinya.
“ Enggak, sana masuk!” jawabnya
seraya tersenyum.
Tuh, kan. Aku selalu saja dibuat
bingung. Kena lagi deh. Kali in dia menyapaku. Dan untuk kedua kalinya sapaan
itu terasa aneh.
Aku dan Riza baru kenal enam bulan.
Sebenarnya sudah lama aku tahu Riza. Mungkin dia juga sama. Rumahnya masih satu
komplek dengan rumahku. Dulu aku sering melihatnya pagi-pagi di jalan ketika
dia akan berangkat ke sekolah. Aku juga sering berpapasan dengannya jika sedang
bermain dengan teman-teman. Dia orangnya jutek abis. Belum pernah sekalipun aku
melihat dia tersenyum. Selengkung saja. Hampir semua teman-temanku pun tidak
menyukainya.
Tapi kini setelah satu kampus dengan
Riza dan sama-sama aktif di HMI, kami jadi sering bertemu. Sapaan-sapaan sering
terlontar dari mulut kami berdua. Dan aku juga ahirnya bisa melihat dia
tersenyum. Ternyata senyumannya manis sekali. Wajahnya bulat, hidung mancung
dan kulitnya bersih mulus. Benar-benar menyerupai artis korea yang banyak
disukai kaum hawa, Kim Bum. Itu sih kata orang lain. Tapi menurutku lebih
bagusan Riza daripada personil F4 itu.
Awalnya aku juga tidak begitu suka
dengan Riza. Juteknya dimakan sendiri. Rautnya terkesan sombong dan tidak
peduli pada orang-orang di sekitar dirinya. Tapi suatu hari, aku mengantar Sani
temanku menjemput adiknya di Sekolah Luar Biasa. Adiknya Sani tuna rungu sejak
lahir. Tapi dia sangat menyayangi adik satu-satunya itu meskipun tidak
sempurna. Dia juga tidak pernah merasa malu terhadap orang lain.
Tiba disana, aku terkesima melihat
anak-anak luar biasa itu. Mereka tampak semangat dan ceria. Rona kebahagiaan
terpancar dari raut wajah mereka. Berbeda sekali dengan yang sering aku lihat
di luar. Anak-anak luar biasa itu seperti tidak memiliki tempat. Tapi di disini
mereka bebas beraksi. Bebas melakukan hal-hal yang mereka sukai.
Tidak aku duga ternyata ada seorang
pemuda disana. Dia sedang mengajak bermain seorang anak autis. Dia adalah Riza.
Pria yang selalu mengatupkan mulutnya. Tapi kepada anak itu dia berikan
senyumannya. Dipeluknya anak itu dengan penuh rasa sayang. Dia biarkan anak itu
bermain di atas punggungnya. Mereka tertawa-tawa lepas tiada beban. Betapa
indahnya melihat keakraban itu. Seperti tidak ada perbedaan sedikitpun diantara
mereka. Bahwa mereka sama-sama manusia. Riza menyadari aku memperhatikannya.
Namun sepertinya dia tidak peduli. Dia hanya melihatku sebentar lalu pergi
membawa anak itu.
*
Seterusnya aku sering mengantar Sani
menjemput adiknya. Dan aku selalu melihat Riza disana. Tapi dia selalu diam dan
tidak peduli. Aku sendiri ragu untuk menyapanya. Sampai tiba pada suatu hari,
aku tengah berjalan menyusuri sisi jalan raya pulang kuliah bersama Sani.
Tiba-tiba seseorang memanggil namaku. Aku celingukan mencari sosok yang
memanggilku. Aneh. Tidak ada siapa-siapa kecuali Riza yang sedang berjalan di
belakangku sambil menggendong anak autis yang baru ketahui bahwa anak itu
adiknya. Aku dan Sani bingung. Kami terbengong-bengong aneh. Kok bisa? Apa
benar Riza yang tadi menyapaku? Saat aku sadar Riza sudah tidak ada lagi
ditempatnya. Tidak tahu kemana perginya. Menghilang begitu saja.
Hari-hari berikutnya aku kembali
bertemu dengan Riza. Di kampus atau di sekolah luar biasa. Tapi sikapnya masih
seperti sebelumnya. Acuh dan jutek. Aku kira setelah hari itu aku bisa akrab
dengannya. Tapi seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Misterius. Apa waktu itu
hanya halusinasiku saja atau hantu. Tidak mungkin jelas-jelas Sani juga
mendengarnya.
Saat aku mengantar Sani menjemput
adiknya ada kejadian yang akhirnya membawa aku mengenal Riza. Setelah bel
pulang berbunyi, anak-anak hebat itu berhamburan keluar dari kelasnya masing-masing.
Sani segera mendapatkan adiknya. Anak-anak yang lain pun disambut oleh
penjemput mereka. Namun ketika kami akan meninggalkan sekolah, terdengar suara
tangisan kecil dari seorang anak autis yang sedang menunggu penjemputnya. Kami
merasa iba mendengar suara tangisnya yang cukup menyayat hati itu. Aku segera
menghampiri anak itu. Ternyata dia adik Riza. Aku coba menghiburnya sedang
hatiku bertanya-tanya kemana Riza. Kok tumben dia terlambat menjemput adiknya.
“ Hafidz ! ” tiba-tiba Riza datang
dengan nafas tersenggal-senggal. Raut anak itu mendadak berubah. Tampaknya dia
senang melihat Riza datang. Dia berlari ke arah Riza dan memeluknya. Riza
meminta maaf kepadanya karena terlambat datang. Dia tersenyum untuk menyenagkan
hati anak itu.
“ Terima kasih udah mau menjaga
Hafidz.”
Aku tidak tidak percaya dia
berbicara kepadaku sambil tersenyum pula.
“ Ya, sama-sama.” Jawabku sedikit
ragu.
Dia menaikan Hafidz ke atas
punggungnya dengan hati-hati.
“ Yuk kita pulang, Nis!”
Wah, dia menyebut namaku. Sungguh
tidak bisa kupercaya. Aku jadi bengong.
“ Namamu Nisa kan?”
“ Iya, iya aku Nisa. Ayo!” jawabku
gerogi. Tapi aku bisa mengendalikan diriku untuk bersikap biasa-biasa saja.
Aku mencoba menggunakan kesempatan
langka ini untuk mengenal Riza. aku beranikan diri untuk mengajaknya bicara
selama kami berjalan pulang. Dan tidak aku sangka dia menyambutnya dengan baik.
Riza saat ini bebeda sekali dengan Riza sebelumnya. Langkah demi langkah kami
lewati. Jalanan kami susuri. Hembusan angin membawa tawa-tawa kecil kami ke
udara. Ada yang melintas di hati saat mata kami bertemu.
Perjalanan terasa sangat panjang.
Sampai-sampai kami tidak menyadari awan hitam di atas kami mencurahkan
keharuannya. Tetes-tetesan hujan menyirami kami. Kami berlarian ketempat yang
teduh. Dia segera melindungi adiknya agar tidak kena air hujan. Hujan telah
menyekat perjalanan pertamaku dengan Riza. Sehingga perjalanan pulang ini
semakin lebih panjang. Tapi aku senang. Rasa dingin aroma hujan pun tak
kurasakan. Karena getaran-getaran di dalam dadaku memberi kehangatan ke seluruh
tubuh.
*
Esok harinya aku tidak melihat Riza
di kampus. Tidak ada kabar darinya. Aku coba menghubunginya. Tapi tidak ada
jawaban. Dan hari itu aku tidak ada jadwal sore. Siang pun aku sudah ada di
rumah. Jadi aku tidak tahu Riza datang atau tidaknya. Sepulang kuliah mama
menyuruhku mengantar pesanan pakaian kepada pelanggan. Masih tetangga kami jadi
tidak jauh hanya berbeda gang.
Setelah mengucapkan salam, aku di
persilahkan masuk oleh anak kecil yang mukanya mirip dengan Hafidz adik Riza.
Dan disuruh menunggu sebentar di ruang tamu. Aku baru tahu jika itu rumah Riza.
Ruang tamunya cukup besar. Banyak hiasan unik tertata rapi di dalam lemari
kaca. Kaligrafi dan beberapa foto keluarga berukuran besar menghiasi dinding. Lalu
aku tertarik untuk memperhatikan foto-foto itu. Dalam satu bingkai besar tampak
anak-anak yang mukanya mirip-mirip berdiri berjajar dengan memakai seragam jas
untuk anak laki-laki dan gaun untuk anak perempuan. Satu wajah yang hanya aku
kenali yaitu Hafidz. Di foto itu dia masih kecil di banding saat ini. Tapi jika
hafidz ada Riza pun harus ada. Bukankah dia kakaknya hafidz. Setelah pindah ke
foto selanjutnya baru aku melihat Riza tengah memeluk hafidz diapit oleh
seorang wanita muda dan seorang pria paruh baya. Tapi di foto-foto berikutnya
aku tidak menemukan Hafidz ataupun Riza.
“ Ehm!!”
Tiba terdengar suara deheman yang
langsung aku kenali. Tampak Riza tengah berdiri sambil melipat tangan. Aku tidak
tahu sejak kapan dia disana.
“ Kenapa gak kuliah hari ini? Aku
sms gak dibalas-balas.” Aku menghampirinya.
“ Hafidz sakit.” Ucapnya sedih.
“ Hafidz sakit? Sakit apa?” aku juga
sedih mendengarnya.
“ Demam. Aku gak bisa ninggalin dia
sendiri.”
Mungkin gara-gara kemarin pulang
hujan-hujanan. Kasihan Hafidz. Aku dan Riza yang memang sudah besar tidak
masalah kehujanan. Tapi buat anak kecil seperti dia jadi bahaya.
“ Gara-gara kemarin ya?” tanyaku
dengan raut penyesalan.
Dia menjawab hanya dengan senyuman
dan anggukan. Menurut ceritanya Hafidz memang tidak boleh kedinginan atau
terkena air hujan karena dia mudah sekali sakit.
“ Kok kamu sih yang harus seharian
ngurus dia. Apa gak kamu serahin dulu sama keluarga kamu yang lain? Kamu juga
harus kuliah.”
Meskipun aku ragu dan sedikit takut,
aku ajukan pertanyaan itu sambil melihat foto-foto di dinding. Didorong oleh rasa
penasaranku yang begitu besar.
“ Hafidz hanya butuh aku, tidak
butuh mereka.”
Aku terkejut melihat ekspresinya
yang datar.
“ Siapa sih yang tidak kecewa
memiliki sebuah kekurangan. Apalagi bagi mereka yang menganggap ketidak
normalan adalah aib.”
“ Di rumah ini mereka lebih bangga
memajang ini daripada itu.” Riza menunjuk foto-foto yang sengaja diletakan agar mudah terlihat. Foto
yang memperlihatkan seluruh anggota keluarga tanpa hapidz dan dirinya. Lalu
menunjuk satu bingkai foto kecil yang tadi pertamakali aku lihat.
Tiba-tiba aku mendengar suara
tangisan dari dalam diikuti teriakan seorang perempuan memanggil Riza. Riza
segera pergi melewati ruang keluarga lalu menghilang. Lalu datang seorang
perempuan paruh baya menyambutku. Sepertinya dia sudah mengetahui maksud
kedatanganku.
Setelah selesai urusan dengan Ibunya
Riza, aku langsung pulang. Dalam hati terbesit ingin menjenguk hafidz. Tapi
Riza tidak ada. Aku tidak tahu dimana kamarnya. Ribuan pertanyaan terbenam
dalam otakku. Aku ingin tahu lebih tentang kehidupan Riza. Tapi aku bukan
siapa-siapa baginya. Aku tidak punya hak.
Selama beberapa hari aku tidak
melihat Riza masuk kuliah. Aku sangat merindukannya. Dihubungi susah. Aku rasa
ada yang terjadi dengan adiknya. Dia lebih mementingkan adiknya daripada
dirinya sendiri. Akhirnya aku bisa melihatnya di Rumah Sakit. Wajahnya terlihat
kusut karena kurang tidur.
Selama menunggu Hafidz yang
terbaring lemas, Riza bercerita tentang kehidupannya. Padahal aku sama sekali
tidak minta atau menyinggung sedikitpun. Mengalir begitu saja. Dia membawaku
menyelusuri lorong-lorong waktu ke belakang. Memutar balik arah jarum jam.
Sebenarnya Hafidz bukan adik kandung
Riza. Ayah Riza menikahi ibunya hafidz setelah ditinggal wafat ibunya Riza.
Awalnya Riza tidak setuju. Tapi setelah melihat Hafidz akhirnya dia mengijinkan
ayahnya menikah lagi. Karena ibunya Riza juga seorang autis. Dia dan kakaknya
terlahir normal. Ibunya Riza sangat menyayangi mereka berdua. Mereka diasuh dengan
penuh kelembutan dan senyuman olehnya. Walaupun ibunya tidak normal. Riza tidak
malu dan tetap membanggakan ibunya. Dan dia juga tidak marah ketika
teman-temannya mengejek-ejek dirinya karena memiliki ibu idot. Sebab dia
melihat sendiri bagaimana ibunya yang selalu tersenyum kepada siapapun yang
mencelanya.
*
Sejak pulang dari rumah sakit, Riza
disibukan dengan mengejar perkuliahannya yang tertinggal selama merawat Hapidz.
Banyak tugas yang harus dia selesaikan. Kami tidak sempat bertemu. Hanya melihat
dari kejauhan. Aku tahu dia orang yang bertanggung jawab. Sehingga segala hal
yang menurutnya penting akan dia lakukan sebaik-baiknya. Walaupun sibuk dia
masih menjemput Hafidz yang sudah mulai sekolah lagi. Karena Hapidz adalah yang
utama baginya. Besar harapanku agar bisa bertemu dengan Riza di sekolah luar
biasa itu.
Namun Riza seperti tidak
mempedulikanku. Dia tidak menyapaku saat dia datang ataupun tersenyum. Dia
langsung memasuki ruangan guru bersama Hafidz. Aku ingin menunggu dia. Ada yang
ingin aku bicarakan denganya. Tapi aku ragu. Jadinya aku pulang bersama Sani
lagi.
Baru beberapa langkah meninggalkan
sekolah, tiba-tiba ponsel Sani berbunyi. Mamanya sudah menunggu di Rumah sakit.
Ada saudaranya yang sedang sakit parah. Sani meminta maaf padaku bahwa dia
tidak bisa pulang bersama. Dia pergi terburu-buru dengan adiknya menuju rumah
sakit.
Tinggallah aku mematung sendirian di
tepi jalan. Lalu aku teringat Riza. segera aku kembali ke dalam sekolah. Ku
dapati dia sedang duduk di atas bangku panjang di bawah pohon halaman sekolah.
tempat yang biasa dipakai para pengantar menunggu anak-anak luar biasa itu
belajar. Hafidz bebaring dengan kepalanya di atas pangkuan Riza. Tampaknya dia
sedang tidur. Riza mengusap-usap kepalanya. Aku perhatikan sepertinya Riza
kelelahan. Dia sedang beristirahat. Pandangannya lurus kedepan. Tapi tampak
kosong.
Tiba-tiba dia menoleh ke arahku
tanpa ekspresi. Lalu mengembalikan pandang ke semula. Aku merasa sedih.
Sepertinya dia sudah melupakanku atau dia tidak menganggapku temannya lagi.
“ Belum pulang?” tanya dia. Hatiku
kembali tenang. Ternyata dia masih mengenaliku.
“ Sani ada urusan. Jadi gak bisa
pulang bareng.” Ragu-ragu aku duduk di dekatnya.
Dia menyimpan telunjuknya di depan mulutnya.
Mengisyaratkan agar aku tidak menganggu tidur Hafidz.
“ Nis, apa menurutmu hidupku seperti
ini menyebalkan...” dia berbicara dengan menjaga volume suara rendah.
“ ...tidak normal, karena lebih mementingkan
orang yang tidak normal?”
Meski kata-katanya menyimpan emosi,
dia tetap datar dan pelan. Aku mulai memahami apa yang sedang terjadi dalam
hatinya.
“ Tidak. Bagiku hidupmu lebih indah
dan menyenangkan. Bisa berbagi kehidupan dengan orang yang disisihkan dari
kehidupan mereka sendiri. Aku bangga padamu.”
“ Ketidak normalan bukanlah kekurangan.
Apalagi aib. Sebab manusia itu tidak ada yang sempurna. Penuh kekurangan. Jika
kekurangan itu aib, maka semua manusia itu aib. Tapi tidak. Manusia adalah
mahluk sempurna bukan aib. Karena ada hal yang membuat manusia itu sempurna.”
“ Kamu tahu apa yang membuat manusia
itu sempurna?” aku mencoba melihat matanya. Sesaat lalu dia menghindar.
Angin sepoi-sepoi menyentuh lembut
tubuhku. Daun-daun berjatuhan perlahan ke bumi. Dia tersenyum sambil menatap
langit.
“ Cinta.” Ucapnya pelan.
Aku terpana mendengar jawabanya itu.
Dia tahu itu. Dia memang lebih tahu. Dia curahkan semua kasih sayangnya untuk
Hafidz selama ini karena dia sangat mencintai Hafidz. Sehingga baginya dan bagi
Hafidz tidak ada yang tidak normal. Mereka saling menyempurnakan.
“ Nis!” sapaannya bernada sama untuk
ketiga kalinya. Persis seperti waktu pulang kuliah dulu sebelum aku kenal dia.
Dan waktu aku akan masuk kelas. Terdengar aneh ditelingaku.
“ Ya?” aku menoleh. Dan kulihat Riza
sedang memandangiku sambil tersenyum.
“ Kamu tahu gak, apa yang bikin aku
sempurna?”
“ Ya cintalah.” Jawabku sambil
tersenyum geli. Rasanya aneh. Dia menanyakan kembali pertanyaanku tadi.
“ Iya, memang cinta.” Dia mengangguk
pelan sambil tertawa kecil.
“ Sejak bertemu kamu, aku belajar
satu hal. Aku harus lebih berani membuka diri. Tidak semua orang meremehkan
kekurangan. Masih banyak orang di luar sana yang menghargai kekurangan. Karena
mereka memiliki rasa cinta.”
“ Dan sepertinya cinta yang kamu
taburkan membuatku merasa sempurna.”
Jantungku terasa berhenti sejenak.
Daun yang akan jatuh di depanku tiba-tiba diam. Melayang di udara. Seperti
jiwaku yang tengah melayang di langit biru. Sungguh aku tidak percaya dia
berkata seperti itu.
“ Mau kan, kamu jadi penyempurna
hidupku?”
*The End*
Bbkn,12/06/13.22;30
Tidak ada komentar:
Posting Komentar